Meningkat, Gerakan Anti-Islam di Eropa

Gerard Brazon gelisah. Ia merasakan sesuatu yang “tidak sehat” dan “jujur” sedang terjadi di Prancis. Islamlah yang menjadikan pria berusia 58 tahun itu mengundurkan diri sebagai konsultan ekonomi dan menjadi blogger. Ia tidak sendirian yang merasa prihatin tentang perkembangan Islam di Eropa.

Pada 18 Desember lalu, Brazon bergabung dengan ratusan orang yang seide dengannya untuk menghadiri konferensi anti-Islam internasional di Paris. Ia bergabung dengan kaum Islamofobis lain dari Swiss, Austria, Belgia, dan Amerika Serikat untuk berbicara rincian tentang “bahaya Islam di Eropa”. Mereka berbicara tentang ”ketidaksesuaian mendasar antara agama dan masyarakat Barat modern”.

“Makin meningkat, kebebasan beragama mengambil alih kebebasan individu,” kata Brazon pada penutupan “Konferensi Internasional tentang Islamisasi Negara Kita”. Ia meratapi terjadinya erosi Prancis sekuler.

Bagi Brazon dan lainnya, konferensi yang diselenggarakan di bawah penjagaan ketat polisi dan pengamanan pribadi itu adalah sebuah awal kelahiran “gerakan perlawanan terhadap Islamisasi Eropa.”

“Mungkin ini titik awal dari sesuatu di Prancis dan Eropa,” kata Oskar Freysinger, pembicara utama, yang dikelilingi pengawal berkacamata hitam dan bertopi rendah dengan syal hitam menutupi wajah mereka. Saat ia masuk, hadirin mengelu-elukan namanya.

Freysinger, anggota Partai Rakyat Swiss, dikenal atas keterlibatannya tahun lalu yang sukses kampanye melawan pembangunan menara di Swiss. Ia berbicara tentang imigrasi dan seruan untuk “revolusi”. “Ini pertaruhan nyawa,” kata Freysinger.

Penyelenggara konferensi memperkirakan lebih dari 1.000 orang membayar tiket masuk € 10 ($ 13) untuk hadir.

Freysinger menyebut hadirin sebagai “mikrokosmos sejati masyarakat,” sambil mengagumi keragamannya: kaum Marxis, feminis, Sosialis, dan anggota UMP, partai kanan Prancis yang berkuasa.

Salah satu pembicara, Elisabeth Wolff dari Austria, mendapatkan penghormatan “standing ovation” setelah menggambarkan teks-teks agama, termasuk Al-Quran,  mengandung “hasutan kebencian”.

“Ketika sudah cukup banyak umat Muslim yang tinggal di Eropa –dan itu tidak harus menjadi mayoritas penduduk, hanya sekitar 15 atau 20 persen– kita akan hidup di bawah hukum Islam, dan bukan undang-undang yang mengatur kita saat ini,” katanya.

“Islam dan masjid adalah ide-ide yang tidak ada hubungannya dengan Eropa,” kata Bruno Vendoire, juru bicara Bloc Identitaire, kelompok politik yang menjadi panitia konferensi dan siap maju dalam pemilihan presiden Prancis 2012.

Vendoire juga menginggung kaum Muslim yang shalat meluber hingga ke jalan-jalan di beberapa lingkungan Paris karena masjid tidak bisa menampung jamaah.

Awal bulan lalu, Marine Le Pen, wakil presiden partai Front Nasional, membandingkan jamaah shalat itu dengan pendudukan Perang Dunia II.

“Saya suka merasa seperti orang asing ketika saya sedang di luar negeri,” kata Brazon. “Ketika Anda mulai merasa asing di negeri Anda sendiri, Anda mulai bertanya,” imbuhnya merujuk pada ”suasana Islam” yang kian marak di negara-negara Eropa.  (Mel/Global Post).*

Exit mobile version