Membangun Kecerdasan Ruhiyah Seorang Muslim

Oleh Ustadz Very Setiyawan, Lc., S.Pd.I., M.H.

Ringkasan tausiyah kajian online pada hari Ahad, 27 Desember 2020

Cerdas Menurut Islam  

Menjadi orang yang pintar, pandai, cerdas, bahkan jenius adalah hal yang membanggakan bagi siapapun. Ia akan dianggap sebagai orang yang menakjubkan dan membuat orang-orang di sekitarnya menaruh hormat kepadanya. Seorang murid yang menjadi juara kelas atau bintang kelas misalnya, maka semua masyarakat sekolah pasti akan mengucapkan selamat atas keberhasilannya.

Jika dalam urusan dunia saja manusia berlomba-lomba untuk menjadi pintar, maka bagaimana halnya dengan kepintaran dan kecerdasan untuk urusan akhirat? Inilah yang seharusnya menjadi renungan kita semua agar menjadi Muslim yang cerdas. Tidak hanya untuk urusan duniawi yang sekejap mata saja, tetapi juga urusan akhirat yang kekal abadi selama-lamanya. Hal ini akan menajadi pengingat diri kita karena kebanyakan manusia lebih mementingkan kehidupan dunia dibandingkan akhirat. Allah SWT berfirman:

بَلۡ تُؤۡثِرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ١٦  وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ ١٧

Artinya: “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. [Q.S. Al-A’la: 16-17]

Rasulullah saw juga mengingatkan agar kita menjadi Muslim cerdas yang bisa mendulang keuntungan dan laba yang besar dalam urusan akhirat. Beliau bersabda:

اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَ عَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ (رواه أحمد و الترمذي)

Artinya: “Seorang yang cerdas adalah yang orang yang mampu mengendalikan dirinya, dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian”. (H.R. Ahmad & Tirmidzi)

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab beliau Al-Jami’ As-Shoghir. Imam Al-’Ujluni berkata: “Hadits hasan secara marfu’ (sampai kepada Nabi saw). Bahkan Syekh Al-Albani juga berkata: “Al-Hakim menshahihkannya, serta Adz-Dzahabi menyepakatinya”. Cerdas bukan urusan akal semata, akan tetapi juga harus berkaitan dengan ruh atau jiwa kita.

Dari hadits di atas, pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa seseorang memiliki kecerdasan ruhiyah, apabila:

  1. Memiliki tekad yang kuat.
  2. Berusaha memanfaatkan setiap momentum dan peluang yang datang.
  3. Senantiasa bersikap hati-hati dan waspada agar waktu yang dimilikinya tidak sia-sia tanpa digunakan untuk kebaikan dunia dan
  4. Senantiasa mengontrol dan mengendalikan dirinya serta beramal untuk kehidupan akhirat.

Nilai-nilai Ruhiyah

Ada hal-hal yang harus kita perhatikan agar kita mendapatkan predikat sebagai Muslim yang cerdas secara ruhiyah. Diantaranya adalah muhasabah/mawas diri/introspeksi.

  1. Sebelum melakukan perbuatan, harus diiringi niat yang ikhlas karena Allah SWT. Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti pada tekadnya untuk introspeksi, jika yang dilakukannya karena Allah, ia lanjutkan, jika bukan karena Allah, ia mundur & mengurungkannya”.
  2. Renungkan apakah ia mampu atau tidak. Jika mampu, kerjakan. Namun jika dirasa tidak mampu, maka urungkan.
  3. Adakah maslahat dalam perbuatannya itu. Jika ada, maka lakukan. Namun jika tidak, maka tinggalkan.
  4. Cari waktu terbaik untuk melakukannya.
  1. Muhasabah terhadap perbuatan yang ia kerjakan, hendaknya ia bisa mempertahankan keikhlasan tersebut.
  2. Muhasabah terhadap perbuatan yang seharusnya ditinggalkan. Jika ia kerjakan maksiat, segeralah minta ampunan dari Allah.
  3. Muhasabah terhadap urusan yang diperbolehkan, apakah sudah diniatkan untuk ikhlas ibadah karena Allah ataukah tidak. Karena hal-hal yang mubah akan bernilai pahala jika diniatkan ibadah kepada Allah SWT.

Sahabat Umar bin Khatab ra adalah seseorang yang setiap malam selalu memukul kakinya dengan cambuk sambil berkata: “Apa yang sudah aku lakukan hari ini?”.

Adab-Adab Dalam Beramal

Agar amal yang kita lalukan diterima oleh Allah serta tidaklah sia-sia, maka kita harus perhatikan adab dalam amalan kita. Diantaranya adalah:

Allah SWT berfirman:

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا ١١٠

Artinya: Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. [Q.S. Al-Kahfi: 110]

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Inilah dua rukun amal yang akan diterima oleh Allah SWT, yaitu hendaknya amal perbuatan itu ikhlas karena Allah SWT & sesuai syariat Rasulullah saw”.

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: “Sebagian Ulama salaf berkata: “Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya karena mengharap surga-NYA, maka ia adalah seorang murji’i. Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya karena takut neraka-NYA, maka ia adalah seorang haruri (khawarij). Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya karena cinta pada-NYA, maka ia adalah seorang zindiq. Barangsiapa yang ibadah kepada Allah karena takut, harap, & cinta, maka ia adalah seorang mukmin. Hal itu karena seorang mukmin wajib beribadah kepada Allah dengan didasari ketiga aspek; mahabbah, khauf, & raja’. Semua harus direalisasikannya. Barangsiapa mengabaikan salah satu dari ketiga aspek ini, berarti ia telah mengabaikan sebagian kewajiban iman”.

Sebagian ulama salaf sepakat bahwa porsi cinta harus lebih besar, sedangkan takut & harap seimbang, sehingga bisa dikatakan bahwa porsi cinta 40, takut 30, & harap 30.

Nikmat terbesar setelah iman dan islam adalah taufiq atau karunia yang Allah berikan kepada kita berupa kemudahan dan kenikmatan tatkala kita beribadah kepada-Nya. Bahkan jika seseorang tidak bisa merasakan manisnya munajat kepada Allah, berarti sebenarnya ia sedang disiksa lantaran ia tidak menikmati indahnya perjumpaan dengan Tuhannya. Allah SWT berfirman:

قَالَ يَٰقَوۡمِ أَرَءَيۡتُمۡ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٖ مِّن رَّبِّي وَرَزَقَنِي مِنۡهُ رِزۡقًا حَسَنٗاۚ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أُخَالِفَكُمۡ إِلَىٰ مَآ أَنۡهَىٰكُمۡ عَنۡهُۚ إِنۡ أُرِيدُ إِلَّا ٱلۡإِصۡلَٰحَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُۚ وَمَا تَوۡفِيقِيٓ إِلَّا بِٱللَّهِۚ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ أُنِيبُ ٨٨

Artinya: Syu´aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. {Q.S. Hud: 88}

Artinya seorang muslim mengakui betapapun ia telah berusaha maksimal untuk beramal hanya karena Allah, ia tetap mengakui adanya kekurangan. Akan tetapi ia tidak boleh putus asa dari hal tersebut, sehingga ia akan tetap istiqomah dalam menjalani ketaatan & menjauhi kemaksiatan.

Kemaksiatan yang dimaksud adalah dosa besar yang berupa kesyirikan, kekufuran, & kemunafikan aqidah yang bisa menggugurkan amalnya. Allah SWT berfirman:

وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٥

Artinya: “Dan Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”. [Q.S. Al-Maidah: 5]

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa, & zakat, namun ia telah mencela orang ini, menuduh zina orang itu, memakan harta orang ini, mengalirkan darah orang itu, & memukul orang ini. Lalu sebagian pahala kebaikannya diberikan kepada orang ini, & sebagian pahalanya diberikan kepada orang itu. Jika pahala kebaikannya telah habis sebelum memenuhi semua kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka diambillah sebagian dosa mereka lalu dipikulkan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke neraka” (H.R. Muslim)

Karakteristik Muslim Yang Memiliki Kecerdasan Ruhiyah

Ada banyak hal yang menunjukkan seorang Muslim memiliki kecerdasan ruhiyah. Diantaranya adalah:

Exit mobile version