Ketika BMI Hong Kong ‘Ganti Rupa’

Victoria Park, pusat TKI Hong Kong menghabiskan waktu libur.*

“Jangan ganti rupa!” Demikian salah satu tausiyah KH. Ahmad Shonhaji, da’i dari Jakarta, dalam pengajian akbar “Istriku Bidadariku” Majelis Taklim Cabang Taipo, Ahad (29/1), di Sheung Wan, Hong Kong. Di depan ratusan jamaah, ia memberikan wejangan agar BMI/TKI/TKW Hong Kong meluruskan niat datang ke Hong Kong, yakni bekerja mencari nafkah, beribadah, dan tidak berfoya-foya serta “jangan ganti rupa”.

Ustadz Shonhaji mungkin merasa tidak perlu menjelaskan maksud “ganti rupa” karena kalangan BMI paham betul yang dimaksudkan. Sejumlah BMI HK “salah jalan” dan “salah pergaulan” selama di HK sehingga “ganti rupa” sebagai dampak kebebasan dan gemerlap HK.

Banyak di antara mereka yang terlena sehingga“ganti rupa”, tidak terarah dan terkontrol, hidup glamour, jadi “anak TB” (tomboy), bahkan menjadi Lesbi! “Dugem” pun menjadi hal biasa di negeri beton ini bagi sebagian BMI.

Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, antara lain karena salahnya pergaulan, takut dicemburui majikan, hanya “coba-coba” atau ikut-ikutan, yang akhirnya semakin terjerumus. Kecewa atau sakit hati yang berlebihan terhadap laki-laki pada masa lalu juga menjadi faktor “ganti rupa” jadi anak TB dan lesbi.

Itu yang “ganti rupa” secara negatif. Namun, banyak juga –bahkan kebanyakan, insya Allah– BMI yang “ganti rupa” menjadi baik, berkat pergaulan yang baik dan mengikuti berbagai kegiatan positif seperti pengajian, kursus, dan pelatihan-pelatihan keterampilan, termasuk ragam kegiatan yang diprogram Dompet Dhuafa Hong Kong (DDHK).

Banyak mereka yang di tanah air malas-malasan beribadah, jauh dengan Allah Swt, di sini mereka menemukan hidayah. Mereka pun jadi lebih rajin beribadah, belajar mengaji, berorganisasi, aktif dengan lingkungan sekitar yang baik, berlatih entrepreneur (wirausaha), menempuh pendidikan tinggi hingga meraih gelar sarjana, juga bisa umroh dan beribadah haji!

Kemewahan yang Hong Kong berikan bisa membuat BMI lupa tujuan semula. Pergaulan yang marak dengan WNA lainnya membuat gengsi tersendiri bagi sebagian BMI. Terbiasa dengan makanan yang enak, baju yang bermerk, hunting ke tempat-tempat mewah, bahkan kencan dengan para pria bule berhidung mancung bak artis Hollywood dan Bollywood, seakan menjadikan gengsi “naik satu tingkat”.

Bagi sebagian BMI yang jadi anak TB atau lesbi, kelamnya masa lalu dijadikan pelampiasan dendam, benci terhadap laki-laki, seakan mati rasa untuk menyukai kaum adam. Akhirnya, mereka mencintai sesama jenis, menjadi lesbi, tomboy, penampilan pun berubah seperti boyband-boyband Asia, bahkan tak kalah dengan artis dangdut di tanah air sekalipun.

Pergaulan di Hong Kong yang bebas karena banyak warga HK sendiri yang seperti itu, jadi mereka terbawa arus, majikan pencemburu yang akhirnya mereka lari dari masalah untuk menghindari kecurigaan bos. Mereka “berubah wujud” agar si bos merasa aman kalau suaminya tidak akan tergoda.

Di sisi lain, para “jilbaber” menghiasi gemerlap Hong Kong di tengah tandusnya iman masyarakat negeri beton. Mereka, utamanya aktivis organisasi Islam termasuk para relawan DDHK, bertahan meningkatkan kualitas ibadahnya. Bhkan, banyak BMI yang menemukan hidayah di sini, menjadi mualaf.

Masih lebih banyak BMI yang mengisi waktu libur dengan berbagai kegiatan positif, sekolah ke jenjang yang lebih tinggi hingga ketika pulang ke tanah air bisa bekerja di sektor formal atau bahkan berwirausaha.

Banyak BMI yang tadinya tidak tahu tentang investasi, entrepreneur, EO, writer, mengaji, menari, drama, menjahit, di Hong Kong mereka dapatkan. Semua tinggal kita pilih, mau “ganti rupa” dalam bentuk apa? Apakah dalam perbaikan atau malah keterpurukan?

Surga dan neraka begitu tampak di Hong Kong. Kitalah yang memilih. Wallahu a’lam. (Rima Khumaira/Romel Tea/ddhongkong.org).*

Exit mobile version