Jilbab Kini Bebas Dikenakan di Universitas Turki

Mahasiswi Muslimah akhirnya menikmati kebebasan berjilbab di universitas-univeristas Turki. “Saya merasa senang bahwa saya tidak harus berhenti di sebuah Masjid di tengah perjalanan saya dan berganti mengenakan wig saya,” Yasemin Derbaz mengatakan kepada BBC (31/12).

Selama bertahun-tahun, Derbaz biasanya menyembunyikan jilbabnya sebelum melangkah masuk ke kampus. Setiap kali ia masuk ke universitas, ia harus berhenti terlebih dahulu di sebuah Masjid terdekat untuk mengganti jilbabnya dengan sebuah wig dengan tujuan untuk diperbolehkan masuk ke dalam kampus.

Namun sekarang, hal ini telah berubah setelah pemerintah mengeluarkan sebuah peringatan keras kepada universitas-univeritas yang melarang jilbab di kampus.

Pada September lalu, Dewan Pendidikan Tinggi memerintahkan Universitas Istambul, salah satu yang terbesar di negara tersebut, untuk mengkahiri pelarangan jilbabnya. Peraturan tersebut mencakup hampir semua universitas Turki.

Sejak saat itu, Derbaz telah sepenuhnya dapat menghadiri kelas-kelas arsitektunya di Univeristas Teknik Yildiz dengan mengenakan jilbabnya.

Sejak 1980,  jilbab dilarang di bangunan-bangunan publik, universitas, sekolah-sekolah, dan bangunan pemerintah di negara mayoritas Muslim Turki.

Tahun 2007, Emine Erdogan, istri Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan, dilarang memasuki sebuah rumah sakit militer karena menolak melepaskan jilbabnya.

Pelarangan jilbab dipermudah tahun 2008 hasil kompromi antara Partai Keadilan dan Perkambangan (AKP) yang berkuasa dan Partai oposisi Tindakan Nasionalis (MHP). Di bawah perjanjian tersebut, para Muslimah di universitas diizinkan menutupi kepala mereka dengan mengikat kerudung dengan cara tradisional di bawah dagu.

Kaum sekuleris berpendapat, pelarangan jilbab bertujuan membela akar sekuler negara Turki. “Alasan mengapa kami tidak mengijinkan sebuah kerudung, kata seorang hakim, kerudung adalah sebuah simbol agama,” kata Hursit Gunes, seorang deputi sekretaris jenderal partai tersebut.

Para pakar memperingatkan, posisi anti-jilbab di antara para sekuleris sering berakibat pada diskriminasi terhadap para wanita berjilbab.

“Suatu ketika mereka mendapatkan kepegawaian, mereka didiskriminasikan sehubungan dengan promosi, gaji, dan sehubungan dengan pemecatan yang perusahaan harus putuskan untuk mengurangi tenaga kerja,” kata Dilek Cindoglu, seorang sosiolog di Univeristas Bilkent. (BBC/OnIslam/ddhongkong.org).*

Exit mobile version