ArtikelHikmah

Istri Muda; Haruskah Cantik dan Pintar?

DI sela-sela coffee morning, para dai asik ngobrol. Cuaca yang begitu sejuk di dusun Kunjani, Bogor, sangat mendukung suasana ngobrol pagi itu.

FGD (Forum Group Discussion) yang terkesan serius, jadi cair dan makin renyah. Salah satu dai ada yang nyeletuk, bahwa wanita cantik itu bukan dari “sana”-nya, tapi dari “dana”-nya. Ups! Dalam hati, banyak yang ngaminin. Kecuali yang pelit beliin make-up istrinya bilang, “saya mah prefer yang inner beauty.” Sontak, disambut ketawa riuh sambil nyeruput kopi Kapal Api.

Baru dua hari jauh dari istri. pas di medsos (media sosial) sedang ramai soal rencana Pemerintah Aceh melegalkan poligami. Wah, tambah hangat. Apalagi, ada pisang goreng yang disediakan panitia tim Cordofa (Corp Dai Dompet Dhuafa). Salah seorang dai membuka obrolan, yang lain menanggapi. Akhirnya, semua berani bicara poligami (at-Ta’addud), karena memang jauh dari istri. Kalau lagi dekat, mendadak “minal khaifin”, pada takut.

Ada dai yang bilang, poligami itu sunnah Nabi Muhammad saw. Saya menjawab ringan, “kenapa yang ditiru hanya soal poligaminya? Memang Nabi itu istrinya lebih dari satu, tapi dari semua istri yang ada, kenyataannya menjadi sumber hikmah dan sumber hukum.

Ambil contoh Aisyah, istri muda yang paling cantik, yang selalu dipanggil dengan “Ya Humairah” oleh Baginda Nabi. Artinya, “Yang Merona (pink) Pipinya”.

Aisyah ketika ditanya oleh seorang sahabat tentang bagaimana Nabi, beliau menjawab, “Kana khuluquhul Qur’an”. Ia tidak menjawab bahwa Nabi itu bersorban, berpakaian begini dan begitu. Menandakan, sunnah yang perlu ditiru oleh kita itu lebih kepada ahwal, bukan pakaian atau aksesoris, karena dua hal yang terakhir ini lebih mudah untuk ditiru.

Kembali soal poligami, jangan hanya meniru kalau istri muda itu berarti harus lebih muda, lebih cantik dan bla… bla.. bla. Kita seharusnya lebih teliti, bahwa yang terekam oleh Aisyah itu tidaklah hal-hal yang berbau materi. Aisyah tidak pernah mengingat bokek, miskinnya Nabi, dan sebagainya.

Yang diingat olehnya, semua berdimensi hukum. Misalkan, ketika Rasulullah bertanya, apakah di rumahnya ada makanan? Aisyah menjawab tidak ada. Lalu, Nabi puasa. Ketika Aisyah memiliki makanan enak, Rasul sedang puasa (sunnah), lalu beliau makan makanan kesukaan beliau di rumah Aisyah.

Aisyah merekam semua dimensi hukum (fiqih) yang ada pada kehidupan Nabi. Sehingga, menjadi pengkayaan pendapat para aimmatul mazahib (as-Sawadul a’zham). Seperti riwayat tentang Aisyah tidur dan Nabi shalat di tempat tidur, Beliau memindahkan kaki Aisyah. Di situ ada dimensi hukum fiqih dan tasawuf sekaligus. Sebab itulah Aisyah termasuk salah satu perawi yang paling banyak meriwayatkan Hadits. Jika berdasarkan gender, maka beliaulah rawi perempuan terbanyak.

Kalau kita menilik surat an-Nisa’ ayat 3, pesan moral dari ayat tersebut adalah monogami. Ayat tersebuut ditutup dengan “fa wahidatan”. Sama seperti ketika kita mau pergi ke suatu tempat, maka stasiun terakhir adalah yang jadi tujuan.

Ketika ada kondisi tertentu yang menjadikan poligami ini ada pengecualiannya, maka poligami adalah alternatif terakhir (emergency exit). Bukan tujuan utama.

Bagi yang masih mengimpikan yang lebih muda, yang lebih cantik, pastikan si dia bisa mencontoh Aisyah. Sehingga yang diriwayatkan kepada generasi berikutnya bukan ke-bokek-an Anda, bukan hal-hal negatif yang Anda miliki.

Dari semua istri Nabi, tidak ada yang mewariskan cerita negative. Menandakan, Nabi memang seorang dengan akhlak yang paripurna. Beliau menikah dengan bimbingan Allah. Dan istrinya pun, merupakan orang-orang pilihan, yang dengan didikan Nabi, mereka menjadi contoh bagi para perempuan yang beriman. Dunia tidak pernah menjadi tujuan. Tidak pernah ditaruh dalam hati mereka.[]

————Sukron Makmun (Dai Ambassador Hong Kong – Macau)

 

Sumber ilustrasi foto: Dakwatuna

Baca juga:

×