ArtikelHikmah

Ini Hakikat Sujud dan Amal Shaleh

MACAU – Sering emosi, merasa galau, takut, atau cemas? Jangan-jangan, karena kita belum memahami hakikat sujud dan amal shaleh yang selama ini kita lakukan.

Hal itu diingatkan Dai Ambassador Dompet Dhuafa Hong Kong (DDHK), Ustadz Sukron Makmun saat memberikan tausiyah usai shalat Subuh berjamaah di Majelis Taklim Indonesia Makau (MATIM) , Kamis (30/5/2019). “Kenapa kita selalu merasa kalut dan emosi? Karena pada dasarnya jika seseorang semakin tinggi status sosialnya dia akan semakin banyak memori. Status-status sosial itu yang menjadikan orang tersebut tidak tawadlu atau rendah hati,” ujarnya.

“Maka sujud melatih kita untuk merendahkan atau menyerahkan ‘ke-aku-an’ kita di hadapan Allah Ta’ala,” kata ustadz Sukron.

Ia menjelaskan, kata “sujud” berarti penyerahan penuh. Karena kepala yang biasa di atas dan kaki yang biasa di bawah akan sejajar, tidak ada bedanya lagi dalam posisi bersujud.

Dengan begitu, tegasnya, jika kita sudah bersujud dengan benar, sudah menyerahkan semua “ke-aku-an” kita kepada Allah, maka kita tidak akan didera perasaan-perasaan negative seperti rasa takut, cemas, galau, dan sedih. “Orang sedih kan karena banyak ingatan dan memori terkait status-status sosialnya. Tapi kalau kita sudah sujud (dengan benar), kita melepaskan semuanya,” ujar Ustadz Sukron.

“Maka ketika kita sujud, kita harus menyerahkan semuanya kepada Allah. Dengan begitu, kita tidak pernah merasa kecewa dan sedih,” tambahnya.

Tapi sebaliknya, kalau kita tidak pernah menyerahkan urusan kita kepada Allah, semuanya kita biarkan mendekam dalam pikiran di kepala kita, maka jangan heran kalau banyak orang yang merasa pusing, sakit kepala, dan stres. Sebab, mereka tetap mempertahankan “ke-aku-an dan kepentingan mereka, baik secara individu maupun keakuan kelompoknya.

Ustadz Sukron menjelaskan bahwa Allah telah menjanjikan pahala dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Namun, ada syarat agar amal shaleh diterima Allah Ta’ala.

“Syarat amal shaleh diterima, ketika seseorang telah melepaskan ‘ke-aku-an’-nya. (Misalnya) ketika memberikan sesuatu, tidak lagi berpikir bahwa orang yang dia beri berhutang budi kepadanya. Atau, tidak lagi berharap ucapan terima kasih. Setelah memberi, kemudian dilupakan kebaikannya. Di situlah Allah hadir,” kata Ustadz Sukron.

Ia pun menegaskan, “Jika kita memberi namun masih ada embel-embel ‘ke-aku-an’ kita, ini belum disebut amal shaleh.” [Tim DDHKNews]

Baca juga:

×