Hukum Hamil di Luar Nikah dan Status Anak Hasil Zina

Hukum Hamil di Luar Nikah dan Status Anak Hasil Zina

TANYA:

Assalamu’alaikum, Ustadz.

Mau nanya. Orang yang hamil di luar nikah bagaimana hukumnya? Dia berzina dengan tetangga, kemudian hamil di luar nikah.

Terima kasih, Ustadz.

Salam,

Fulanah

JAWAB:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Hamil di luar nikah bisa dua kemungkinan. Karena berzina, maka itu haram dan berdosa. Atau, karena diperkosa.

Dalam hukum Islam, seseorang yang dituduh berzina harus dibuktikan terlebih dulu dengan bukti yang kuat. Bisa dengan menghadirkan empat orang saksi laki-laki, atau bisa juga dengan adanya pengakuan dari pihak pelakunya sendiri sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah saw. Maka yang berzina terkena hukum had.

Apabila memang ia telah tebukti, maka dalam hukum Islam ia berhak mendapatkan had. Hadnya adalah didera 100 kali, kemudian diasingkan. Itu jika ia adalah orang yang belum pernah menikah (zina ghairu muhshan). Namun jika ia janda, maka dirajam (zina muhshan).

Lantas, siapakah yang melaksanakan hukuman tersebut? Negara adalah pelaksananya, sehingga masyarakat tidak boleh main hakim sendiri. Namun di negara kita, hukumam had zina sampai hari ini belum diberlakukan. Karenanya, yang terbaik adalah dengan memintanya untuk segera bertaubat.

Terkait status anak hasil hubungan zina, itu bukanlah anak yang sah secara nasab dengan ayahnya. Sehingga, antara ayah dan anak wanitanya hanya disambungkan secara biologis, namun secara hukum syar’i masih terputus.

Dan, karena secara hukum bukan anaknya yang sah, maka anak itu tidak mendapatkan hak warisan dari ayah biologisnya, bila si ayah meninggal dunia. Ini adalah konsekuensi hukum dari tidak tersambungnya nasab antara ayah dan anak. Dan ini berlaku, baik anak itu laki-laki atau anak itu perempuan.

Konsekuensi lainnya adalah tidak sahnya si ayah biologis menjadi wali atas anak wanitanya itu dalam pernikahan. Demikian juga kakek, paman dan saudaranya, tidak ada satu pun yang sah untuk menjadi wali atasnya. Padahal, adanya wali menjadi rukun pokok atas sebuah akad nikah. Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali, yaitu ayah kandung yang sah secara syar’i.

Jumhjur ulama mengatakan agar nasab antara ayah dan anak hasil zina bisa tersambung kembali, maka ayah dan ibunya harus menikah secara sah. Meski setelah anak itu lahir dan dewasa. Bahkan, meski setelah menikah, lantas keduanya bercerai. Pernikahan akan menyatukan nasab yang terputus antara ayah dan anaknya.

Meski tidak pernah menyetujui adanya anak lahir di luar nikah, karena hal itu merupakan dosa besar, namun tindakan paling logis dan syar’i dalam kasus yang terjadi di tengah masyarakat hanya dengan menikahkan pasangan zina itu. Terutama, bila telah ada janin di dalam perut wanita.

Sebaliknya, haram hukumnya menikahkan wanita yang hamil di luar nikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya. Satu-satunya laki-laki yang boleh menikahinya saat hamil di luar nikah adalah pasangan zinanya.

Adapun bila sudah melahirkan, lalu wanita itu menikah dengan laki-laki lain, hukumnya boleh. Tapi sebaiknya, tetap dengan pasangan zinanya itu, agar nasab anaknya bisa tersambung kembali.

Wallâhu a’lam bish-showâb.

Salam!

Dijawab oleh: Ustadz H. Ahmad Fauzi Qosim.

#SahabatMigran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam dan persoalan kehidupan? Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419. [DDHK News]

Exit mobile version