Enggan Bersyukur, Awal Menyangkal Keberadaan Allah

Enggan Bersyukur, Awal Menyangkal Keberadaan Allah

Oleh Ustadz H. Sukron Makmun, Lc., LL.M.

Disampaikan pada Kajian Online hari Ahad, 6 Desember 2020.

Mayoritas ulama bersepakat bahwa tidak sah shalat seseorang tanpa membaca al-Fatihah, “la shalata liman lam yaqra’ bi fatihati al-Kitab”. Rasulullah Saw juga pernah berkata kepada sahabatnya, “apakah engkau mau aku tunjukkan perbendaharaan al-Qur’an (sesuatu yang penting)? Maka harta simpanan itu ternyata surat al-Fatihah (ummul-Kitab).

Namun di era sekarang ini, karena seringnya kita membaca Fatihah tanpa dilandasi ilmu, akhirnya bacaan kita–bahkan dalam shalat sekalipunpun–mulai kehilangan ruh-nya. Semacam tidak sakral lagi, gara-gara sudah menjadi sebuah rutinitas. Istilah-istilah agama sedikit-sedikit mulai tergusur oleh istilah-istilah yang diciptakan oleh masyarakat modern.

Padahal, lafazh-lafazh yang ada dalam surat al-Fatihah, itu termasuk ayat-ayat yang pakem, yang menggunakan kalam khabari (bukan insya’i). Ketika kita membaca surat ini, harusnya dihayati, sehingga kandungan ayat-ayatnya meresap ke dalam sanubari.

Dalam sebuah hadits Qudsi dikatakan bahwa,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي – فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل

Allah berfirman, “Saya membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua. Untuk hamba-Ku apa yang dia minta. Apabila hamba-Ku membaca, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.” Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Apabila hamba-Ku membaca, “Ar-rahmanir Rahiim.” Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku mengulangi pujian untuk-Ku.” Apabila hamba-Ku membaca, “Maaliki yaumid diin.” Allah berfirman, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” Dalam riwayat lain, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan urusannya kepada-Ku.” Apabila hamba-Ku membaca, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in.” Allah Ta’ala berfirman, “Ini antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.” Apabila hamba-Ku membaca, “Ihdinas-Shirathal mustaqiim….dst. sampai akhir surat.” Allah Ta’ala berfirman, “Ini milik hamba-Ku dan untuk hamba-Ku sesuai yang dia minta.”

Alhamdulillahi rabbi al-Alamin adalah satu kata yang pakem dalam Islam

Selama ini orang mengaitkan nikmat itu rata-rata karena uang, jabatan, wanita cantik, fasilitas, pengaruh, dan lainnnya. Alhamdulillahi rabbi al-Alamin adalah satu kata yang pakem dalam Islam. Dengan membaca “Alhamdulillahi” segala puji bagi Allah, berarti kita berusaha, bagaimana menghilangkan, memusnahkan itu semua: pengaruh, uang, jabatan. Sehingga, kita akhirnya meyakini bahwa semua nikmat yang ada itu hanya dari Allah dan seharusnya diperuntukkan karena Allah semata.

Allah menjadi tersanjung ketika kita mengucapkan “Alhamdulillah”. Hamidani ‘abdi, kata Allah. Alhamdulillah berarti:

  1. Menghilangkan kesyirikan (tiada kekuatan, tiada nikmat selain dari Allah)
  2. Tidak ada kegembiraan di luar karena Allah
  3. Memantapkan tauhid kita

Alhamdulillah harus kita jadikan sebagai ruhul-Islam. Dengan mengucapkan lafazh itu, kelihatan sekali mental seorang hamba, bahwa untuk menuju Allah itu arahnya menyanjung, dan memuji.

Alhamdulillah adalah kalimat yang paling sering diulang dalam al-Qur’an, bukan istighfar, karena ketika bicara pengampunan berarti di situ melibatkan makhluk. Alhamdulillah, bukan hamid-tu allaha, menggunakan bahasa yang pakem, bahasa hukum/dasar/konstitusi. Karena jika menggunakan“hamidtu” misalkan, lalu seberapa serius manusia itu bersyukur, seberapa banyak manusia itu bersyukur atas karunia-karunia Allah?

Tidak ada “Alhamdulillah” yang diisnadkan/disandarkan kepada mutakallim, karena di sini tujuan akhir dari semua penghambaan dan setiap sanjungan yang kita berikan adalah Allah. Dan hanya Allah-lah yang pantas menerimanya.

وما قدرو ا الله حق قدره

Manusia itu tidak bisa menyanjung, memposisikan Allah secara tepat dan proporsional.

Ayat/surat yang pakem dalam al-Qur’an, seperti ayat kursi, qulhuwallahu ahad, al-Fatihah semua tidak ada yang menyangkut makhluk.

Berbeda dengan yang berkaitan dengan ampunan, istighfar. Di situ ada kaitannya dengan manusia, ada hazzhun-Nafsi di situ.

Dalam dunia tasawuf, pernah ada cerita, ada seorang hamba yang masuk neraka. Tapi yang bersangkutan tetap menyanjung Allah, dengan Ya Mannan, Ya Hannan.

Ketika ditanya, kenapa engkau tetap menyanjungku, ketika berada dalam neraka? Jawabnya, saya tidak ada urusan dengan neraka. Saya tidak peduli. Sebagai hamba, tugasku hanya memuji. Memuji tidak ada kaitannya sama sekali dengan masuk neraka.

Ini sama dengan 2×2 tetap 4. Baik kita akan mendapat hadiah atau tidak, akal yang sehat tetap mengatakan 2×2 adalah 4.

Berarti orang tersebut sudah dalam maqam ‘Isyq’ (cinta/rindu yang menggebu), sehingga dia dalam keadaan fana’, meraih maqam Hudhuri.

 Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Di situ yang dibahas adalah kepentingan manusia, meminta tolong. Di sini mulai ruwet, sehingga kemudian ditutup dengan

اهدنا الصراط المستقيم…صراط الذين انعمت عليهم

Jalan yang lurus itu apa? Di situ dijelaskan, adalah jalan yang dilalui orang-orang yang mendapat kenikmatan (suatu bentuk yang dikehendaki oleh Allah). Tidak perlu kita tafsirkan macam-macam. Untuk lebih jelasnya, kita lihat ayat selanjutnya, yang jadi antitesa dari jalan yang lurus, yaitu

غير المغضوب عليهم ولا الضالين

Pantangan bagi setiap orang yang bertakwa adalah “sesuatu apapun yang Allah tidak berkenan”. Lalu, apa yang paling dekat dengan sifat yang Allah paling tidak berkenan? Yaitu, “tidak bisa bersyukur”. Meskipun bolak-balik haji 50 kali, kalau tidak bersyukur, rasanya susah sekali akan masuk surga. Karena tidak bersyukur itu awal dari orang menyangkal keberadaan Allah.

Makanya, dalam al-Qur’an, dosa orang yang zina atau membunuh sekalipun, tidak seekstrem dosa orang yang tidak bersyukur. Ayat yang menerangkan tentang dosa zina dan membunuh, di situ ada pengecualian, kecuali orang-orang yang taubat. Jika taubat dan memperbaiki diri, maka akan diampuni.

والَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ  وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ  وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (الفرقان: 68-71)

Berbeda dengan jika manusia tidak mau bersyukur, maka siksa yang luar biasa pedihnya lah balasannya (QS. Ibrahim: 7). Juga dalam hadits disebutkan, “Barang siapa yang tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan tidak bersabar atas bala’ (ujian)-Ku maka carilah Tuhan selain diri-Ku, dan hendaklah keluar dari bumi (ini).” [DDHK News]

Exit mobile version