Cara Meninggalkan Maksiat Batin: Sifat Ujub

Cara Meninggalkan Maksiat Batin: Sifat Ujub

DDHK.ORG –– Ketahuilah bahwa agama itu terdiri dari dua bagian. Pertama, meninggalkan maksiat. Kedua, mengerjakan ketaatan.

Meninggalkan maksiat lebih berat dilakukan daripada mengerjakan ketaatan karena mengerjakan taat senang dilakukan oleh setiap orang. Tapi meninggalkan syahwat (maksiat) hanya dapat dilaksanakan oleh para shiddiqin (orang-orang yang benar).

Oleh kerana itu Rasulullah S.A.W. bersabda, “Orang yang berhijrah dengan sebenarnya ialah orang yang berhijrah dari kejahatan (meninggalkan kejahatan). Dan mujahid yang sebenarnya ialah orang yang memerangi hawa nafsunya.”

Cara meninggalkan sifat ujub

Pada artikel sebelumnya Cara Meninggalkan Maksiat Batin: Hasad dan Riya, telah dijabarkan cara meninggalkan dua maksiat batin, yaitu sifat hasad dan riya. Kali ini, akan dijabarkan bagaimana cara meninggalkan satu maksiat batin lainnya, yaitu sifat ujub.

Ujub, takabur, dan merasa bangga dengan diri sendiri adalah satu penyakit hati yang sangat susah diobati. Ujub itu ialah memandang kepada diri sendiri dengan pandangan kemuliaan dan kebesaran, serta memandang orang lain dengan pandangan penghinaan.

Tanda yang nampak pada lisan orang yang ujub itu ialah ia selalu mengatakan aku begini-begini, aku begini seperti perkataan Iblis (kepada Allah ketika ia tidak mau sujud kepada Nabi Adam A.S.). Saat itu dia berkata, “Aku lebih baik daripadanya (Adam) karena Engkau menjadikan aku dari api dan Engkau menjadikannya dari tanah.” (Surah Al-A’raf, ayat 12)

Sedangkan yang nampak bagi seseorang yang ujub itu di dalam majlis orang banyak ialah ia selalu suka mengangkat dirinya dan menganggapnya lebih baik dan lebih mampu dari orang lain. Dia suka menonjolkan diri di dalam perbincangan dan tidak senang kalau ada orang lain menolak pandangannya.

Orang yang takabur tidak senang apabila ia diberi nasihat dan mengkasarkan bahasa kalau ia memberi nasihat kepada orang lain. Siapa yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain maka orang itu bersifat takabur.

Sebaiknya, hendaklah ia mengetahui bahwa orang yang sebenarnya baik itu ialah orang yang baik di sisi Allah dan masalah ini tidak ada siapa yang mengetahuinya karena ia tergantung kepada “Khatimah” (akhir umur seseorang). Itikadmu di dalam dirimu bahwa engkau lebih baik dari orang lain adalah berasal dari kebodohan semata-mata.

Sepatutnya janganlah engkau melihat kepada seseorang kecuali engkau melihat bahwa dia adalah lebih baik di sisi Allah dari engkau. Dia mempunyai beberapa kelebihan atas dirimu.

Jika engkau melihat orang yang lebih muda darimu maka hendaklah engkau berkata (di dalam hati): “Anak ini belum pernah membuat maksiat kepada Allah, sedangkan aku sudah banyak berbuat maksiat, maka tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik daripadaku”.

Apabila engkau melihat orang yang lebih tua darimu maka hendaklah engkau berkata: “Orang yang ini menyembah Allah lebih dulu dariku, maka tidak diragukan lagi bahawa ia lebih baik dariku.”

Apabila engkau melihat orang yang alim maka hendaklah engkau berkata, “Orang alim ini telah dikaruniai bermacam-macam pemberian yang tidak dikurniakan kepadaku. Dia telah sampai ke mertabat yang aku tidak sampai kepadanya. Dia mengetahui perkara yang tidak aku ketahui.”

Apabila engkau melihat orang yang jahil maka hendaklah engkau berkata, “Orang yang jahil ini berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku mengerjakan maksiat berserta dengan ilmuku, maka Allah S.W.T. akan berhujjah kepada diriku dan aku belum tahu bagaimana aku akan mengakhiri kehidupanku ini.”

Apabila engkau melihat orang yang kafir maka hendaklah engkau berkata, “Aku belum tahu, boleh jadi nanti ia masuk Islam lalu ia mengakhiri hidupnya dengan “husnul khatimah” (mati dalam keadaan yang baik atau beriman) dan dengan sebab dia masuk Islam ia telah keluar daripada dosa-dosanya, seperti keluarnya sehelai rambut dari adonan roti. Sedangkan aku–mudah-mudahan Allah memelihara kita–boleh jadi berubah menjadi sesat setelah mendapat pertunjuk, maka aku menjadi kafir dan kehidupanku akan diakhiri dengan “su-ul khatimah” (mati dalam keadaan kafir). Maka orang kafir ini pada hari kiamat nanti akan dikumpulkan bersama dengan orang-orang yang muqarrabin, sedangkan aku akan disiksa di dalam api neraka.” Nauzubillahi min dzalik.

Sifat takabur tidak akan keluar dari hatimu, kecuali bila engkau mengetahui bahwa orang yang sebenarnya mulia itu ialah orang yang mulia di sisi Allah dan masalah ini bergantung kepada “khatimah” (akhir kehidupan seseorang). Sedangkan perkara ini masih belum dapat diketahui. Maka (bila engkau berpikir demikian) niscaya hatimu senantiasa akan takut dengan “khatimah”, sehingga engkau tidak berani membesarkan diri dan terpaksa banyak membuat andaian terhadap orang lain.

Walaupun sekarang ini engkau yakin dan beriman kepada Allah, namun keadaan ini tidak menghalangi kemungkinan berlakunya perubahan-perubahan pada pendirianmu

pada suatu masa yang akan datang, karena Allah berkuasa mengubah-ubah hati manusia dan Dia dapat memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dia berkuasa pula menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Hadits Penting tentang Bahayanya Sifat Hasad, Takabur, Riya, dan ‘Ujub

Sangat banyak hadits-hadits yang berkenaan dengan celaan terhadap sifat hasad, takabur, riya, dan ‘ujub, tetapi rasanya cukuplah bagimu sebuah hadits yang telah menghimpunkan segala maksud yang berkenaan dengan sifat-sifat tersebut. Di mana Imam Abdullah bin Al Mubarak R.A. telah meriwayatkan di dalam kitab Al Zuhd dengan sanad beliau dari seorang lelaki (yaitu Khalid bin Maadan) yang pemah berkata kepada Muaz bin Jabal, “Wahai Muaz! Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah SA.W.

Berkata rawi hadits tersebut (Khalid bin Maadan), lalu Muaz menangis sehingga aku sangka ia tidak dapat berhenti. Tetapi akhirnya Muaz berhenti dari tangisannya, kemudian Muaz berkata: Aku mendengar Rasulullah S.A.W. pernah bersabda kepadaku:

“Wahai Muaz! Sebenarnya aku mau menceritakan kepada kamu sebuah hadits, jika engkau mampu memeliharanya pasti ia akan memberi manfaat kepada dirimu di sisi Allah. Tetapi jika engkau menyia-nyiakannya dan tidak memeliharanya, maka akan terputuslah hujjahmu di hadapan Tuhan pada hari kiamat nanti.

Wahai Muaz! Sesungguhnya Allah S.W.T. telah menjadikan tujuh orang malaikat sebelum ia menciptakan langit dan bumi, kemudian ditentukannya pada setiap langit seorang malaikat dari mereka untuk menjaga pintu langit tersebut. Lalu naiklah malaikat Hafazhah membawa amalan seorang hamba yang dilakukannya mulai dari pagi sampai ke petang.

Amalan tersebut mempunyai nur bagaikan cahaya matahari, sehingga apabila malaikat Hafazhah yang membawa amalan hamba itu sampai ke langit yang pertama, mereka menganggap bahwa amalan itu baik dan sangat banyak, lalu berkata malaikat penjaga langit pertama itu kepada malaikat Hafazhah, “Pukulkan dengan amalan ini muka orang yang mengerjakannya. Akulah malaikat penjaga ghibah (menggunjing). Allah telah menyuruhku supaya aku tidak membiarkan amalan orang yang menggunjingkan orang lain itu dapat melalui aku untuk terus naik ke atas.”

Kemudian datang pula malaikat Hafazhah membawa amalan seorang hamba. Mereka menganggap bahwa amalan itu sangat baik dan sangat banyak (Malaikat itu berhasil melintasi langit yang pertama karena orang yang mengerjakan amalan tersebut tidak terlibat dengan dosa ghibah) sehingga mereka sampai ke langit yang kedua lalu berkata malaikat penjaga langit yang kedua itu: “Berhenti kamu di sini dan pukulkan dengan amalan ini muka orang yang mengerjakannya karena ia menghendaki dengan amalannya akan mendapat keuntungan dunia. Allah telah menyuruhku supaya aku tidak membiarkan amalan orang seperti ini melintasi aku untuk terus naik ke atas. Selain itu ia juga suka membesarkan diri di dalam majlis pertemuan. Akulah malaikat penjaga kebesaran.”

Kemudian naik pula malaikat Hafazhah membawa amal seorang hamba yang penuh dengan sinaran dan cahaya dari pahala sedekah, sembahyang, dan puasa. Para malaikat Hafazhah merasa kagum melihat keindahan amalan tersebut lalu mereka membawa amalan itu (melintasi langit yang pertama dan kedua), sehingga sampai ke pintu langit yang ketiga.

Maka berkata malaikat penjaga langit ketiga itu, “Berhenti kamu di sini dan pukulkan dengan amalan ini muka orang yang mengerjakannya. Akulah malaikat takabur. Allah menyuruhku supaya tidak membiarkan amalan orang yang takabur dapat melintasiku. Orang itu sangat suka membesarkan diri di dalam majlis orang banyak.”

Kemudian naik pula malaikat Hafazhah membawa amal seorang hamba. Amal itu bersinar-sinar seperti bersinarnya bintang yang berkelip-kelip. Baginya suara tasbih, sembahyang, puasa, haji dan umrah. Para malaikat Hafazhah berhasil membawa amalan itu hingga sampai ke pintu langit yang keempat.

Maka berkata malaikat penjaga langit keempat itu, “Berhenti kamu di sini dan pukulkan dengan amalan ini muka orang yang mengerjakannya, belakang dan juga perutnya. Akulah malaikat ujub. Allah menyuruhku supaya tidak membiarkan amalan orang yang ujub dapat melintasiku. Ia beramal adalah dengan dorongan perasaan ujub terhadap dirinya.”

Kemudian naik pula malaikat Hafazhah membawa amal seorang hamba sehingga mereka berhasil sampai ke pintu langit yang kelima, seolah-olah amalan itu pengantin yang diantar (disambut) ke rumah suaminya (maksudnya amalannya itu berseri-seri).

Lalu berkata malaikat penjaga langit yang kelima, “Berhenti kamu dan pukulkan dengan amal ini muka orang yang mengerjakannya dan campakkanlah di atas tengkuknya. Akulah malaikat hasad. Ia sangat hasud kepada orang yang belajar ilmu dan beramal seperti amalannya. Ia hasud kepada orang lain yang melakukan segala kelebihan di dalam ibadat. Dia juga mencela mereka. Allah menyuruhku supaya aku tidak membiarkan amalan orang yang hasud ini melintasi aku.”

Kemudian naik pula malaikat Hafazhah membawa amalan seorang hamba. Baginya cahaya seperti bulan purnama dari sembahyang, zakat, umrah, jihad, dan puasa. Malaikat Hafazhah berhasil membawa amalannya hingga sampai ke langit yang keenam.

Lalu berkata malaikat penjaga langit tersebut, “Berhentilah kamu dan pukulkan amalan ini ke muka orang yang mengerjakannya kerana ia tidak belas kasihan kepada hamba-hamba Allah yang terkena bala dan kesusahan. Bahkan, ia merasa gembira dengan demikian. Akulah malaikat rahmat. Allah menyuruhku supaya tidak membiarkan amalan orang yang seperti ini dapat melintasi aku.”

Kemudian naiklah pula malaikat Hafazhah membawa amalan seorang hamba. Amalan itu ialah sembahyang, puasa, nafkah, jihad, dan wara’. Baginya bunyi (maksudnya bunyi zikir) seperti bunyi lebah dan baginya cahaya seperti cahaya matahari dan naiklah bersama dengan amalan itu tiga ribu orang malaikat. Mereka telah berhasil membawanya hingga sampai ke pintu langit yang ketujuh.

Maka berkata malaikat penjaga pintu langit tersebut, “Berhentilah kamu dan pukulkan dengan amalan ini  muka orang yang mengerjakannya, bahkan pukulkan pula akan seluruh anggota badannya dan tutupkan ke atas hatinya. Akulah malaikat zikir (zikir di sini bermakna: mencari sebutan, yaitu seorang yang beramal dengan tujuan supaya disebut-sebut oleh orang lain). Aku akan menghalangi amalan orang yang riya dari sampai kepada Tuhanku. la beramal bukan kerana mencari keridhaan Allah, tetapi hanya bertujuan supaya mendapat tempat yang tinggi di hati para fuqaha dan supaya disebut di kalangan para ulama dan supaya masyhur namanya di segala tempat. Allah menyuruhku supaya tidak membiarkan amalan orang yang riya itu melintasi aku, karena setiap amalan yang tidak ikhlas adalah riya dan Allah tidak akan menerima amalan orang yang riya.”

Kemudian naik pula malaikat Hafazhah dengan amalan seorang hamba. Amalan itu berupa sembahyang, zakat, puasa, haji, umrah, akhlak mulia, banyak berdiam (dari perkara yang tidak berguna) dan banyak berzikir. Amalan hamba ini diusung oleh para malaikat penjaga tujuh tingkatan langit sehingga mereka melintasi segala halangan dan sampai kepada Allah.

Para malaikat itu berhenti di hadapan Allah dan bersaksi dengan keikhlasan dan kebaikan amalan tersebut, lalu Allah berjfrman kepada para malaikatnya, “Kamu adalah yang bertugas menjaga amalan hambaKu ini dan sebenarnya Aku lebih mengetahui dengan segala isi hatinya. la sebenarnya tidak menghendaki Aku dengan amalannya tersebut. la hanya menghendaki sesuatu yang lain dari-Ku. Oleh kerana itu maka Aku turunkan baginya laknat-Ku.

“Lalu para malaikat tadi berkata, “Baginya laknat-Mu dan juga laknat kami.” Lalu malaikat tujuh tingkatan langit dan seisinya melaknat dia.

Mendengar sabda Rasulullah S.A.W. ini lalu Muaz menangis seraya berkata, “Engkau adalah Rasulullah S.A. W., sedangkan aku adalah Muaz (hamba Allah yang bukan Rasul). Maka bagaimana aku dapat selamat dan sejahtera?

Lalu Rasulullah S.A. W. menjawab, “Hendaklah engkau ikuti aku walaupun hanya dengan sedikit amalan. Wahai Muaz, jaga lisanmu baik-baik dari mencela saudaramu yang membaca Al-Quran (golongan Ulama) dan pertanggungkanlah segala dosamu pada dirimu. Jangan engkau mempertanggungkan dosamu kepada mereka. Jangan engkau menganggap dirimu bersih. Jangan pula engkau mencela orang lain. Jangan engkau memuji dirimu di hadapan mereka. Jangan engkau campurkan urusan dunia di dalam urusan akhirat. Jangan engkau menyombong diri di dalam majlis, nanti orang banyak akan takut kepadamu karena kejahatanmu. Jangan engkau berbisik kepada seseorang sedangkan seorang lagi ada di sisimu. Jangan engkau membesarkan dirimu maka akan terputus darimu segala kebaikan di dunia dan di akhirat. Jangan engkau memecah belah manusia, maka enkau akan dicabik-cabik oleh anjing-anjing api neraka pada hari kiamat nanti.

Allah telah berftrman: “dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut”.

Sebaliknya, Allah telah memerintahkan malaikat pencabut nyawa untuk memastikan orang-orang tak beriman dicabut nyawanya dengan keras.

Apakah engkau ketahui wahai Muaz, siapakah mereka yang mencabik-cabik itu? Muaz bertanya: “Ya Rasulullah, sebenarnya siapa mereka?” Lalu Nabi S.A.W. menjawab: “ltulah anjing-anjing garang di dalam api neraka yang akan mencabik-cabik daging sehingga sampai ke tulang.”

Muaz bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang mampu melaksanakan segala perkara yang engkau sebutkan tadi? Dan siapakah yang akan selamat dari siksaan itu?”

Nabi S.A.W. menjawab: Itu sebenarnya mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah.”

Kemudian Khalid bin Maadan berkata: “Maka aku tidak pernah melihat seseorang yang banyak membaca Al-Quranul Karim lebih dari Muaz karena beliau paham terhadap hadits yang besar ini. (Hadis ini riwayat lbnul Mubarak di dalam Kitab Al-Zuhd dan riwayat lbnul Jauzi di dalam kitab Al Maudhu’at (lihat Takhrij Al Iraqi, Ihya Ulumiddin 3/295)

Hendaklah engkau renungkan baik-baik perkara yang terkandung di dalam hadits ini wahai orang yang gemar kepada ilmu pengetahuan. Ketahuilah bahwasanya sebesar-besar sebab yang dapat mengukuhkan perangai yang jahat di dalam hati ialah menuntut ilmu dengan tujuan hendak menunjukkan kelebihan dan dengan tujuan supaya pandai bercakap karena orang awam (orang yang tidak berilmu) adalah agak lebih jauh dari perangai-perangai yang jahat. Orang yang mencari ilmu adalah menjadi sasaran penyakit-penyakit hati yang dapat membinasakan.

Lihatlah pada dirimu dan timbanglah baik-baik, yang mana yang lebih penting dan yang mana lebih baik. Apakah yang lebih baik itu belajar ilmu yang membawa engkau supaya berhati-hati dari segala perkara yang dapat membinasakan engkau lalu engkau sibuk dengan memperbaiki hatimu dan membangun akhiratmu? Ataukah yang lebih baik itu engkau bergaul dengan orang yang bercakap kosong maka engkau mencari ilmu yang menjadikan engkau orang yang takabur, riya, hasad, ujub sehingga akhirnya engkau binasa bersama dengan orang yang binasa.

Ketahuilah olehmu bahawa tiga perkara ini (hasad, riya, dan ujub) ialah sumber segala penyakit hati dan baginya tempat tumbuh yang sama, yaitu “hubbud dunya” (cinta dunia).

Oleh kerana itu Rasulullah S.A. W. pernah bersabda, “Cinta dunia itu adalah sumber dari segala kejahatan/kesalahan.”

Namun demikian dunia juga adalah ladang untuk akhirat. Maka siapa yang mengambil dunia sekadar yang ia perlukan, yaitu sekadar yang digunakannya untuk sampai ke negeri akhirat, maka dunia yang seperti ini adalah ladang akhirat. Tetapi siapa yang mengambil dunia hanya semata-mata untuk mencari kesedapan dan kebahagiaan, maka dunia itu pasti akan membinasakannya.

Inilah sedikit banyak yang kami sebutkan dalam bicara “taqwa yang zahir” yang merupakan permulaan jalan dalam menuju hidayah. Apabila engkau mencobanya dan engkau dapati nafsumu dapat mengikutinya maka teruskanlah dengan membaca kitab Ihya Ulumiddin supaya engkau sampai kepada bicara taqwa yang batin.

Kemudian setelah itu apabila hati nuranimu telah engkau penuhkan dengan taqwa maka ketika itulah akan terbuka pula bagimu segala hijab antaramu dan antara Tuhanmu dan akan terbuka pula bagimu segala cahaya Ma’rifat dan akan mengalir daripada hatimu pancaran hikmah dan akan jelaslah bagimu segala rahsia alam mulk (alam yang nampak di mata) dan rahasia alam malakut (alam yang tidak nampak) dan akan mudahlah bagimu mencapai ilmu hakikat yang menjadikan engkau memandang rendah terhadap ilmu yang baru-baru yang tidak ada disebutkan di zaman para sahabat dan para tabi’in R.A.

Jika engkau hanya menuntut ilmu “Qila wa Qala” (ilmu perdebatan) dan ilmu pertentangan, dan khilafiyah, maka alangkah besarnya musibahmu, alangkah panjangnya kesusahanmu, dan alangkah besarnya kehilanganmu. Ketika itu buatlah apa saja yang engkau kehendaki karena dunia yang engkau tuntut dengan menggunakan agama sudah tidak selamat lagi bagimu, manakala akhiratmu pula pasti akan hilang darimu.

Maka siapa saja yang mencari dunia dengan menggunakan agama, ia akan rugi di dunia dan akhirat. Siapa yang meninggalkan dunia dan memberi penumpuan kepada agama, pasti ia akan untung kedua-duanya sekaligus.

Maka inilah kata-kata petunjuk untuk engkau memulai perjalananmu pada bermuamalat dengan Allah Ta’ala dan menunaikan segala perintah-Nya dan menjauhkan segala larangan-Nya.

Dinukil dari buku terjemahan kitab Bidayatul Hidayah/Permulaan Jalan Hidayah karya Al Imam Hujjatul Islam Al Ghazali r.a]

Exit mobile version