Cara Meninggalkan Maksiat Batin: Hasad dan Riya

DDHK.ORG — Ketahuilah wahai thalib (penuntut ilmu) bahwa agama itu terdiri dari dua bagian. Pertama, meninggalkan maksiat. Kedua, mengerjakan ketaatan.

Meninggalkan maksiat lebih berat dilakukan daripada mengerjakan ketaatan karena mengerjakan taat senang dilakukan oleh setiap orang. Tapi meninggalkan syahwat (maksiat) hanya dapat dilaksanakan oleh para shiddiqin (orang-orang yang benar).

Oleh kerana itu Rasulullah S.A.W. bersabda:

Artinya: “Orang yang berhijrah dengan sebenarnya ialah orang yang berhijrah dari kejahatan (meninggalkan kejahatan). Dan mujahid yang sebenarnya ialah orang yang memerangi hawa nafsunya.”

Meninggalkan Maksiat Batin (Maksiat Hati)

Ketahuilah bahwasanya sifat yang tercela yang ada di dalam hati itu banyak sekali. Menyucikan hati dari kekotoran itu membutuhkan usaha yang terus-menerus.

Manakala mengobatinya sudah terasa sangat susah dan telah hilang pula ilmu dan amal (yang mesti diikuti untuk membersihkan hati), itu karena orang telah melupakannya dan mereka terlalu sibuk dengan menghimpunkan perhiasan dunia. Telah kami sebutkan segala yang berkenaan dengan masalah ini di dalam kitab lhya Ulumiddin pada bagian yang membicarakan Al-Muhlikat (Perkara-perkara yang membawa kepada kebinasaan seseorang) dan pada bagian yang membicarakan Al-Munjiat (perkara-perkara yang perlu diikuti untuk mendapat keselamatan).

Walaupun demikian, di sini kami coba untuk menyebutkan tiga perkara dari sifat hati yang sangat jahat, yaitu sifat yang umum terlihat di kalangan ulama yang ada pada zaman sekarang ini, supaya dapat engkau jauhi karena sifat-sifat ini dapat membawa kepada kebinasaan diri dan merupakan puncak bagi beberapa sifat-sifat yang tercela. Sifat-sifat itu ialah hasad, riya, dan ujub.

Maka bersungguh-sungguhlah engkau dalam membersihkan hatimu dari ketiga sifat itu, kerana apabila engkau telah dapat membersihkan hatimu darinya, engkau akan dapat

mengetahui cara-cara untuk menjauhkan diri dari sifat-sifat keji yang lain. Tetapi seandainya engkau tidak mampu menyucikan hatimu darinya, maka engkau lebih tidak mampu lagi menghadapi sifat-sifat yang lain.

Janganlah engkau beranggapan bahawa apabila engkau sudah mempunyai niat yang baik dalam mengaji ilmu berarti engkau telah selamat daripada segala sesuatu yang berbahaya, sedangkan di hatimu masih ada sifat hasad, riya, dan ujub.

Dalam hal ini Rasulullah S.A. W. bersabda:

Artinya: “Ada tiga sifat yang dapat membinasakan seseorang; sifat bakhil yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dan merasa bangga dengan diri sendiri.”

Pertama: Cara meninggalkan sifat hasad

Sifat hasad ini adalah cabang dari sifat bakhil, karena orang yang bakhil ialah orang yang tidak mau memberikan sesuatu yang ada di tangannya kepada orang lain. Dan syahih (sangat bakhil) ialah orang yang tidak mau melihat karunia Allah tercurah kepada siapa saja dari hamba Allah. Maka syahih ini lebih jahat dari bakhil.

Orang yang hasud ialah orang yang merasa keberatan Allah mencurahkan nikmat dan karunia kepada salah seorang di antara hamba-hamba Allah. Baik nikmat itu berupa ilmu, harta, kecintaan manusia, maupun apa saja kelebihan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Orang yang hasad ini berharap, kalau boleh nikmat Allah itu hilang dari orang lain, walaupun ia tidak mendapat keuntungan apapun dari hilangnya nikmat tersebut. Maka sifat hasad ini adalah kejahatan yang luar biasa.

Karena itu Rasulullah S.A. W. pernah bersabda:

Artinya: “Sifat hasad itu memakan pahala kebaikan, seperti api memakan kayu bakar.”

Orang yang hasad ini sebenarnya senantiasa jauh dari kasih sayang dan senantiasa berada di dalam siksaan di dunia ini dan di akhirat nanti. Di dunia ini ia tersiksa dengan tekanan perasaan, karena Allah selalu mencurahkan karunianya kepada orang banyak. Bahkan, kepada kawan-kawan orang yang hasad itu yang ia mengenali mereka.

Ketika Allah mencurahkan nikmat ilmu, harta, dan kedudukan kepada orang lain maka senantiasa pula orang yang hasad itu dalam penyiksaan bila ia melihat kemurahan Allah terhadap orang lain. Maka begitulah keadaannya sampai akhir hayatnya.

Di akhirat, lebih dahsyat lagi, karena seorang hamba tidak akan mencapai hakikat iman selama ia belum mencintai bagi seluruh kaum muslimin, seperti ia mencintai dirinya sendiri. Bahkan, seharusnya hendaklah ia bersama dengan perasaan seluruh kaum muslimin, baik dalam kesenangan maupun dalam kesusahan.

Karena orang Islam itu ibarat sebuah bangunan, di mana satu bagian menguatkan bagian yang lain.

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Muslim juga seperti tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh merasa sakit maka penderitaan itu dirasakan oleh seluruh anggota badan yang lain.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Jadi jika engkau dapati hatimu bukan dalam keadaan yang seperti ini, maka (sifat hasad masih ada di dalam hatimu dan) hendaklah engkau berusaha untuk membersihkannya. Karena usahamu dalam meninggalkan penyakit hati ini lebih penting daripada engkau menyibukkan diri untuk mendalami ilmu furu’ (cabang ilmu fiqih yang bukan pokok) dan memperdalami masalah-masalah yang dikhilafkan oleh para ulama.

Kedua: Cara meninggalkan sifat riya

Adapun riya maka itulah yang dinamakan “syirik khafi”, salah satu di antara dua bagian syirik. (Syirik terbagi dua: Pertama, syirik khafi (syirik samar), yaitu riya. Kedua, syirik jali (syirik yang jelas, yaitu syirik menyembah berhala).

Yaitu, engkau mencari penghargaan di hati manusia, sehingga dengan itu engkau dapat mencapai kepangkatan dan kebesaran. Cinta kepada pangkat dan kedudukan termasuk dalam istilah “Hawan Muttaba”, hawa nafsu yang diperturutkan.

Dengan penyakit riya ini banyak orang menjadi binasa. Maka tidak ada yang membinasakan manusia kecuali hanya dirinya sendiri. Seandainya manusia mau memikirkan hakikat perbuatan mereka, tentu mereka tahu bahwa kebanyakan ilmu yang mereka miliki dan kebiasaan yang mereka lakukan tidak lain adalah berpuncak dari dorongan untuk menunjuk-nunjukkannya kepada orang lain. Tujuan seperti ini dapat menghilangkan pahala amalan.

Seperti yang disebutkan di dalam hadits:

Artinya: “Sesungguhnya ada orang yang mati syahid yang akan dicampakkan ke dalam api neraka pada hari kiamat nanti. Lalu ia merasa heran dan mengadukan halnya kepada Allah sambil berkata: Wahai Tuhanku! Bukanlah aku telah mati syahid dalam membela agama-Mu? Allah menjawab: (Tidak) Sebenarnya engkau sanggup mati syahid supaya engkau dikatakan seorang yang berani. Dan telah dikatakan orang demikian kepadamu. Maka itulah ganjaranmu.”

Begitulah pula halnya dikatakan kepada orang yang alim, haji, dan qari (yang mereka riya pada amalan mereka).

Dinukil dari buku terjemahan kitab Bidayatul Hidayah/Permulaan Jalan Hidayah karya Al Imam Hujjatul Islam Al Ghazali r.a [DDHK News]

Exit mobile version