Apakah Menggunakan Cadar Hukumnya Wajib?

TANYA-JAWAB AGAMA

Pertanyaan: Bagaimana hukum memakai cadar? Apakah tidak memakai cadar sebagai tanda tidak beriman?

Jawaban: Ungkapan bahwa wanita yang tidak bercadar berarti tidak beriman, tentunya merupakan ungkapan yang mengada-ada dan berlebihan. Bahkan, dapat terjerumus kepada pemahaman ekstrem seperti pemikiran Khawarij yang cenderung suka mengkafirkan orang lain yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Sebab, masalah wajib-tidaknya memakai cadar adalah perkara yang telah diperselisihkan oleh para ulama yang memiliki kewenangan untuk memberikan pendapat hukum sejak lama.

Dan, dalam menyikapi sebuah perbedaan yang diakui hendaknya menggunakan sikap yang tepat. Dalam hal ini, para ulama kemudian merumuskan sebuah kaidah dalam menyikapi perbedaan dengan ungkapan, “La yunkar al-mukhtalaf fihi”, yang bermakna, “Tidak boleh mengingkari sebuah perbedaan”.

Masalah ini pada dasarnya berangkat dari permasalahan wajah wanita: apakah termasuk aurat yang wajib ditutupi dan dilarang diperlihatkan kepada laki-laki asing, atau bukan termasuk aurat.

Para ulama dalam menghukumi wajah wanita sebagai aurat atau bukan, setidaknya terbagi menjadi dua pendapat. Tentunya, setelah mereka menyepakati bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat dan wajib ditutupi kecuali lima hal: wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki.

Mayoritas ulama berpendapat bawah wajah wanita bukanlah aurat. Pendapat ini dianut oleh kalangan ulama al-Hanafiyah, asy-Syafi’iyah, al-Malikiyah, dan mayoritas al-Hanabilah.

Sedangkan sebagian kalangan ulama al-Hanabilah berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat. Oleh sebab itu, mereka mewajibkan wanita menutup wajahnya dengan cadar.

Adapun kalangan mayoritas ulama yang berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat juga bersepakat bahwa diharamkan bagi laki-laki melihat wajah wanita dewasa, jika hal itu dilandasi syahwat dan dapat memunculkan fitnah.

Sedangkan jika kedua sebab itu tidak muncul, seperti adanya kebutuhan yang diperlukan semisal ketika melakukan akad jual-beli, proses belajar-mengajar, persaksian di pengadilan, dan lainnya, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Mayoritas, menganggap hal itu tidak dilarang. Sedangkan kalangan al-Hanabilah memakruhkannya.

Wallahu a’lam bish-shawab! []

Sumber: Buku “Tanya Jawab Fikih Keseharian Buruh Migran Muslim” Mandiri Amal Insani

Exit mobile version